Diklat Asesor Hidayatullah di Surabaya

Pertama pendidikan sebagai wadah rekrutmen kader, objek utamanya siswa dan guru, kedua sebagai sarana kaderisasi, siswa siswi kita diberi tugas, disuruh ngajar, cari donatur, disuruh kerja apa saja sebagai bagian dari kaderisasi itu sendiri, ketiga sebagai tempat untuk mencari maisyah.

 

Poin ketiga ini sebenarnya bukan tujuan utama, hanya bonus, persoalannya karena namanya bonus, apalagi bonusnya besar, kadang kita lupa diri kalau tujuan sebenarnya kita menyelenggarakan pendidikan itu untuk rekrutmen dan kaderisasi.

 

Sehingga dilapangan, banyak ketimpangan yang kita saksikan, terutama di institusi pendidikan dan kepengasuhan

 

Dalam sistem pendidikan kita, pengasuh memiliki tugas yang berat, santri hanya 8 jam waktunya disekolah, di pendidikan formal, masih terisisa waktu 16 jam lagi dan itu dibawah kendali pengasuh, beban berat ini tidak berbanding lurus dengan pengeloaan, bersadarkan pengalaman asesement dilapangan, unit kepngasuhan paling bermaslah pengelolaannya, mulai dari sistemnya, infrastrukturnya, sdmnya sampai pada maisyahnya semua bermasalah.

 

Tujuan utaman sekolah Hidayatullah mencetak kader, tidak ada soal mau mahal atau gratis, dan itu telah ditegaskan bapak pemimpin umum.

 

secara umum gaji guru-guru di Hidayatullah kecil, meski demikian, guru harus ikhlas dengan gaji yang kecil itu, karena kalau tidak, kita tidak dapat apa-apa, hanya dapat capeknya.

 

Jangan sibuk untuk menyaingi orang lain, tapi mari kita sibuk memperbaiki diri kita, memperbaiki sekolah, sehigga suatu waktu orang lainlah yang akan menilai kepantasan kita.

 

Berdasarka hasil visitasi lebih dari 150 (50 % dari 313) sekolah Hidayatullah, saya mencatat setidaknya ada lima hal yang harus kita perbaiki jika ingin pendidikan kita tetap eksis, orang memilih kita bukan karena murahnya, tapi karena keunggulannya,

 

1. Konsep Pendidikan Integral Berbasis Tauhid harus difahami bersama secara menyeluruh sesuai dengan pentunjuk buku induk pendidikan berbasi tauhid.

 

2. Ideologisasi, kadang kita tidak bisa menerima perubahan yang terjadi di sekolah, pradigma kita tidak berubah, masih  seperti dulu, padahal zaman sangat berubah.

 

3. Pembelajaran alquran dan diniyah, harus ditingkatkan, untuk alquran kita sepakat dengan metode alhidayah, ini sudah kita uji, kekuatannya ada pada warna.

 

4. Pembelajaran arab dan inggris, meskipun secara teori pelaksanaannya sudah bagus, tapi kelemahan kita belum ada satupun biah bahasa ini.

 

5. Branding sekolah kita harus lebih maksimal lagi, company profil yang di inisiasi oleh dikdasmen sudah bagus, kedepannya  lakukan satu wilayah seleksi bersama, di umumkan di media secara kolektif, ini akan menarik.

 

Kedepan kita harus punya kurikulum yang khas tidak berubah, jangan seperti negara kita, ganti menteri ganti kukirukulum, belum dilaksakan kurikulum lama sudah berubah lagi.

 

Sekolah kita harus bisa menyesuaikan seiring berubahnya zaman, saat ini anak-anak sudah tidak bisa makan seperti yang dulu kita makan waktu kita nyantri dulu, masa sudah berlalu berpuluh-puluh tahun makannya tidak berubah, pola pendidikannya, bahkan model lemarinya tidak berubah.

 

Kenapa jika menyangkut perubahan pendidikan kita susah menerima, padahal sama halnya dengan selera pakaian kita, jika dibandingkan dengan sepuluh tahun lalu makan sudah banyak mengalami perubahan baik dari segi model maupun kainnya, itu perubahan mendasar tapi kita bisa terima, kenapa pendidikan tidak?

 

Kita dituntut untuk memperbaiki casing pendidikan kita, tapi tidak mereduksi ideologi dan jati dirinya, Untuk itu semua kegiatan harusnya mengarah ke penguatan ideologi.